SIAPAPUN menteri atau panglima yang dipilih tetap tergantung rajanya. Sebab, siapa yang lebih punya kuasa, dialah yang bisa mengendalikan. Jadi, sebaik apapun menteri dan panglima, mereka bisa menjadi jahat karena perintah sang raja.
Terkait asumsi saya itu, mungkin kita perlu sedikit mengingat cerita pewayangan -yang kata penulis buku-buku tentang wayang, Pitoyo Amrih, adalah "dunia wayang, cermin dunia kita"- Misalnya dalam kisah Ramayana, yaitu apa yang dilakukan Raja Alengka Rahwana yang lalim terhadap Kumbakarna yang sesungguhnya baik hati.
Rahwana memaksa Kumbakarna berperang melawan Sri Rama. Padahal, sebelumnya kesatria Kumbakarna memilih jadi 'tukang tidur' karena tidak ingin diperalat kakaknya untuk berbuat kejahatan. Namun di sisi lain Kumbakarna adalah seorang patriot yang setia terhadap raja dan negaranya. Meski tahu Rahwana jahat, namun karena dia raja yang mengangkatnya jadi panglima perang, maka Kumbakarna akhirnya mau berperang melawan Sri Rama.
Apa yang dilakukan Rahwana terhadap Kumbakarna adalah memperalat orang baik untuk kejahatan. Pendek kata, Rahwana telah menjerumuskan orang baik ke lingkungan dan sistem jahat yang dibuatnya dengan berbagai rekayasa dan pencitraan palsu mengatasnamakan cinta tanah air. Siapapun yang ia jerumuskan niscaya akan dibuat tak mungkin bisa melarikan diri. Namun Rahwana salah prediksi. Pasalnya, ternyata ada salah satu menterinya yang sekaligus juga adiknya, memilih berpihak kepada Sri Rama, yaitu Wibisana. Ia memilih keluar dari istana megah Alengka.
Semoga pemimpin berkarakter Rahwana hanya ada di dunia pewayangan, bukan di negeri Indonesia. Saya sungguh khawatir ada orang-orang baik yang dimanfaatkan para penguasa untuk berbuat jahat dengan dijerumuskan ke kursi-kursi kekuasaan yang penuh noda kesewenangan. Sebab, saya percaya "sistem harus dilawan dengan sistem" dan itu sangat berbeda artinya dengan "melawan sistem dengan masuk ke dalam sistem". (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar