Rabu, 18 Juni 2014

CERITA PENDEK



Orang-Orang di Luar Gedung
Cerpen: Ja'faruddin. AS






MERAH mengeriap dari balik mata yang selalu terbelalak, semakin membuat orang-orang kecil itu kehilangan jiwanya. Mereka digayuti pikiran yang pecah, berkelok, dan terjerat dalam sekat antara sudut kanan dan kiri. Mereka terpisahkan panggung yang tergenang delta darah, di bawah sorot nyala ambisi dua pasangan yang berebut singgasana tanah negeri.

Mereka yang hanya menjadi pendukung saling memamerkan gigi-gigi runcingnya, bersiap saling menelan. Sementara dua pasang kandidat itu terus menghipnotis, berjoget sembari menyebar candu.
Di sisi lain, di ruang yang tak kasat, para punggawa dari negeri asing mengawasi. Sesekali mereka menertawakan tingkah bodoh para kandidat yang penjoget hingga setengah telanjang, bersama para pendukungnya yang telah dibuat mabuk.

"Berapa juta orang yang sudah tepuk tangan? Siapa pasangan yang jogetnya paling 'hot'? Ayo tambah taruhan, biar mereka terus berjoget, biar semakin banyak anak negeri berdatangan untuk mabuk dan memilih salah satunya. Biar mereka semuanya yang masuk ke gedung menikmati dan tergantung dengan fasilitas kita. Kita bayar keduanya, siapapun pemenangnya gedung jadi milik kita, pasar candu punya kita, tanah negeri kita perintah tanpa harus menjadi rajanya," ucap orang yang duduk di kursi megah, di balik panggung para penjoget.

Nyaris luput dari pengawasan, ternyata beberapa orang kecil yang tak tahan terinjak-injak memilih keluar dari gedung itu. Satu, dua, dan seterusnya terlihat membuka pintu ke luar diam-diam.

"Kenapa Anda tidak memilih?" Tanya seseorang yang lebih dulu ke luar gedung.

"Seperti Anda saya juga mencintai tanah negeri," jawab yang ditanya.

"Karena mereka sudah lupa, gedung itu dibangun oleh leluhur dari dan untuk kemakmuran anak negeri," imbuh orang yang sesaat kemudian menyusul lainnya ke luar gedung.

Orang-orang di luar gedung menatap dengan kepala yang masih terasa dihempas palu. Gedung itu bergeletar penuh serapah, suara-suara telapak saling injak.

Setelah memuntahkan candu, mereka berlari dengan peluh tersuluh, menjauh dari gedung yang dulunya dibangun dengan pondasi harapan itu. Hingar-bingar selaksa bualan telah redup dan lenyap seluruhnya dalam kelam tanpa gerak.

Mereka, orang-orang yang ke luar dari gedung, kembali mengisi hidup dengan sadar. Kehidupan tanpa pengaruh buaian para penjoget, tanpa aroma candu impor yang membuatnya semakin kerdil. Tekad mereka telah bulat, meski harus dicap bukan warga tanah negeri yang baik.

***

Ketika penduduk tanah negeri kian menjauh, dengan kuasanya para penghuni dan calon penghuni gedung berikutnya mulai bermuslihat. Mereka yang tak mau masuk untuk berpesta dipaksa. Dengan mengatasnamakan supremasi hukum dan demokrasi, mereka yang mengajak agar tidak masuk gedung diancam akan dibui.

Para pesohor yang dinisbatkan menjadi orang suci oleh para penjoget dengan latah memfatwakan haram hukumnya berada di luar gedung saat kontes digelar.
Para penjoget pun membayar tim agar rakyat tanah negeri mau masuk dan memilih mereka. Dibuatnya corong dengan sampah-sampah dari media massa. Ketika membaca koran, mendengarkan radio, melihat televisi, rakyat hanya disuguhi bokong-bokong para penjoget di panggung-panggung mereka yang gemerlap. Semua kebohongan tercecer menjadi lautan sampah yang menenggelamkan tanah negeri. Semua warganya jadi linglung, pikirannya hanya terfokus pada hari-hari yang melingkar di poros para penjoget.

Namun golongan orang-orang di luar gedung mulai pulih ingatan. Setelah candu para penjoget luruh, muncul kembali sejarah yang telah lama terlipat dalam kebisuan hati terkecil. Ia lalu terjentera dalam secarik memoar tentang keagungan para pendiri gedung dimasa silam.
Ketika itu, gedung masih bercahayakan lentera minyak tanah. Meski remang, tapi terasa benderang, karena disulut minyak berlimpah dari perut negeri sendiri yang gemah ripah loh jinawi. Ironisnya, minyak itu kini telah habis dikuras orang-orang yang duduk di kursi mewah, di balik panggung para penjoget.

Dulu, gedung itu terasa asri. Penghuni gedung semuanya bekerja, tak ada yang berjoget. Mereka menyatu, tak tersesekat, berkumpul dan berjuang untuk kesejahteraan bersama. Mereka menghidupi dan merawat gedung yang dibutuhkan semua insan tanah negeri.
Akan tetapi seiring lajunya waktu dan para penghuni terus berganti, semuanya jadi berubah tak beraturan. Banyak yang datang, bahkan mereka yang asing tak perlu menyusup lagi, karena telah diberi tiket VVIP gratis. Bangunan itu telah disulap menjadi panggung hiburan, tempat para penjoget untuk mengelabuhi rakyat demi para cukong candu yang telah berinvestasi padanya.

***

"Apakah tidak ada yang lebih kecil keburukannya? Bagaimanapun gedung itu harus diisi, harus ada pemimpin di sana, supaya tanah negeri tetap berdiri," pikir seseorang di luar gedung yang masih bimbang.

"Bagaimana menimbangnya? Realistis dong. Mereka sama-sama penjoget, sama-sama didukung para pemabuk dan pecandu yang saling tikam. Tanah negeri tak membutuhkan penjoget yang seolah-olah membuat rakyat senang dan makmur saat di dalam gedung, tetapi realitasnya di luar masih susah dan tertindas," jawab seorang lainnya meyakinkan.

Tiba-tiba, tim sukses para penjoget yang sedang bergerilya mencari massa pendukung di luar gedung, menyergah. Dengan bernada sama lantangnya mencoba mempengaruhi orang-orang agar memilih kandidatnya masing-masing.

"Sebenarnya kandidat kami ingin gedung dikembalikan fungsinya untuk rakyat agar lebih sejahtera. Tanah negeri ini harus menjadi lebih kuat dari yang dulu, harus disegani negeri-negeri lainnya. Jangan seperti kandidat di sudut kanan, tidak jelas konsepnya dan tidak tegas, " celoteh tim sukses pasangan penjoget di sudut kiri.

"Sebenarnya kandidat kami sudah terbukti bekerja. Pasti bisa mensejahterakan anak negeri dengan kerjanya. Tidak seperti kandidat di sudut kiri yang bisanya pidato berapi-api, punya masalah di masa lalu yang belum dituntaskan," ujar tim sukses pasangan penjoget di sudut kanan.

"Kami memilih di luar gedung. Kami akan lihat apakah benar lima tahun ke depan penduduk tanah negeri ini bisa dimakmurkan kandidat kalian? Kalau memang terbukti, lima tahun nanti kami akan masuk gedung dan memilih" jawab orang di luar gedung yang sudah jengah.

"Kalau begitu nanti kalian tidak boleh mengkritik kebijakan kandidat kami yang terpilih !" jawab kedua tim sukses kompak dengan kemarahannya.

"Justru karena tidak memilih kami bebas mengkritik. Kalian yang memilih justru tak bebas karena dikekang, harus mendukung penjoget yang terpilih meski mereka terus menginjak kita semua," bantah orang di luar gedung yang mulai berani.

"Kami berhak tidak memilih tapi kami juga berhak atas kemakmuran tanah negeri ini. Siapapun yang nanti terpilih harus membuktikan janjinya. Mereka harus bekerja demi seluruh tumpah darah tanah negeri, tidak hanya mementingkan gerombolan pendukungnya saja, tapi semuanya termasuk kami yang juga bagian dari rakyat tanah negeri," sambung orang di luar gedung lainnya.

"Kami tak memilih agar siapapun yang bertakhta nanti menjadi sadar untuk lebih baik karena tidak mendapat legitimasi sebagian besar rakyat . Selama ini para penguasa gedung selalu berlindung dengan klaim telah diberi mandat karena didukung 50% lebih rakyat tanah negeri. Mereka jadi pongah, keputusannya seolah selalu sah meski tidak berpihak kepada rakyat," tambah orang di luar gedung lainnya.

"Kalau kami yang di luar lebih banyak, maka mereka yang bertakhta di gedung mau tak mau harus meminta dukungan kepada kami. Kami tak akan memberontak, kecuali jika terus ditindas. Kami akan mendukung siapa saja yang terbukti bisa membawa perubahan lebih baik untuk tanah negeri," imbuh orang di luar gedung yang selama ini diam.

"Jangan ajari kami bermental koruptif seperti kalian. Tak perlu memberi amplop untuk datang ke gedung. Kami tak mau bersemboyan ambil amplopnya jangan pilih orangnya. Kami bukan orang malas, kami adalah pekerja keras," tukas orang di luar gedung sambil menyingkirkan sampah-sampah yang dihamburkan para penjoget dari media massa yang berpolitik praktis.

"Jangan coba-coba menindas kami lagi, karena kami akan mengontrol penghuni gedung dari luar. Jangan remehkan kami. Rakyat tanah negeri berdaulat," seru yang lainnya lagi di luar gedung.

"Kami tidak memilih demi tanah negeri yang bersih dari para penjoget, dari para pecandu, dari para penghamba asing, dari para perampas kesejahteraan," tegas yang lainnya dan yang lainnya lagi.
"Kami tidak memilih!" pekik orang-orang di luar gedung menggetarkan langit di atas tanah negeri, mengusir tim sukses para penjoget. [*]

Yogyakarta, Sabtu 14 Juni 2014

http://jogjakartanews.com/baca/14/06/2014/orangorang-di-luar-gedung---

Senin, 08 Juli 2013

Novel Bulan Separuh Purnama






Pujian untuk Novel Bulan Separuh Purnama

Novel Cinta Tetapi Tidak Picisan.

 “Novel cinta tetapi tidak lebay dan picisan. Perjalanan cinta seorang jurnalis penuh kontemplatif membuat pesan-pesanya jadi berbobot. Membaca novel ini saya berkesimpulan cinta tidak mesti cengeng dan remeh temeh. Cinta juga bisa menjadi inspirasi untuk mengekspresikan kegelisahan, pergolakan batin, dan sarana curhat masalah-masalah berat. Sebagai teman kerja saya memahami Fafa termasuk jurnalis yang komit menjalankan misinya. Bahkan cinta pun tak lepas dari misi dan karakter Fafa yang rajin menyelipkan kegelisahan banyak orang.”
(Bejan Syahidan, Pemred METEOR).

Novel Sekaliber Penulis Dunia.

 “Ja’faruddin yang saya kenal adalah seorang jurnalis muda yang kreatif, pekerja keras, dan idealis seperti kisah dalam novel ini. Dengan bahasanya yang filosofis dan romantis, saya seperti membaca karya penulis dunia sekaliber Mulasadra atau Albert Camus.”

(Yoebal Rasyid, Wartawan Harian Republika di Yogyakarta)

Lebih Dari Sekadar Berbobot.
 “Sebelum membaca novel ini, saya sudah yakin isinya pasti lebih dari sekadar berbobot, mengingat Mas Fafa bukan orang baru di dunia sastra. Seusai membaca, saya cukup tertegun, karena lebih dari praduga saya sebelumnya. Sebuah sketsa piramida jiwa seorang yang terbangun melalui pelbagai gejolak realitas masyarakat yang cukup pelik, upaya menyobek potret buram sosial Indonesia yang telah lama mengendap dan kian membeku.”
(Wahyu NH. Aly, Budayawan, penulis Novel ‘Metamorfosis Cinta’ dan ‘Under The Moon’).

Biografi Fiksi yang Inspiratif
“Saya melihat novel ini adalah biografi fiksi yang penuh inspirasi. Dalam novel ini Fafa (Sapaan akrab Ja’faruddin) yang dulu saya kenal sebagai aktivis mahasiswa, seperti kembali menuangkan kegelisahannya atas segala realitas ketidak adilan yang terus dilanggengkan oleh sistem kekuasaan. Meski dibungkus romantisme, novel ini tetap menonjolkan nilai sesungguhnya, yaitu
sebentuk perjuangan melawan penindasan.”
(Barid Hardiyanto, Relawan Pejuang Demokrasi di Banyumas, Penulis buku ‘Pendidikan Rakyat Petani’)

Istimewa dan Berkarakter
“Novel yang istimewa. Saat membacanya saya sebagai pengacara merasa tersentil, memang sistem peradilan di Indonesia layak dikritik. Novel Ja’far ini memang berkarakter, sebagaimana penulisnya yang saya kenal sebagai jurnalis yang berkarakter,”
(Tri Pomo M Yusuf, SH, Advokat Konsultan Hukum di Yogyakarta)

Menggugah Jiwa Kemanusiaan
“Fafa memang adik saya di HMI yang penuh kreatifitas dan multi talenta. Selain sebagai wartawan yang sudah teruji kompetensinya, Fafa pantas disebut sebagai sastrawan. Kata- kata dalam novelnya ini penuh perenungan dan mampu menggugah jiwa kemanusiaan bagi pembacanya,”
(Surgana, Direktur Cupid Media Group www.cupiders.com)

Potret Sang Jurnalis Pejuang
“Kebobrokan sistem pemerintahan yang korup dan putusan peradilan yang  sering mencederai rasa keadilan masyarakat serta kurangnya political will pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang menimpa hampir semua lini instansi pemerintah dan penegak hukum  di negeri
ini, digambarkan dengan bahasa yang menyentuh dalam novel ini. Saya sungguh terpukau. Setidaknya saya melihat bahwa penulisnya yang selama ini saya kenal sebagai seorang jurnalis yang konsisten menyuarakan penderitaan rakyat kecil dan korban Mafioso para penegak hukum,
ternyata juga seorang yang sangat romantis.”
(Sarifudin M Kasim, SH, Kepala Bidang Investigasi dan Penindakan Jogja Coruption Watch)

Sungguh Sarat Makna
“Setelah saya membaca novelnya Mas Fafa, penulis mengajak kita untuk selalu berintropeksi diri terhadap apa yang telah kita perbuat sebagai manusia yang tidak akan pernah luput dari kesalahan. Novel ini sungguh sarat makna.”
(Andi Abbas Ahmad, S.Fil.I. Sekretaris Umum DPD Pemuda Islam DIY)

Bulan Separuh Purnama
Ja’faruddin
All Right Reserved
ISBN ~10: 979-2494-92-8
ISBN ~ 13: 978-979-2494-92-1
Cetakan Pertama MEI 2011
Tata Letak: Lian
Desain Cover: Gen_0
Diterbitkan oleh Cupid Media Group
Jl. Wahid Hasyim, Gg Menur No. 75
Condongcatur, Sleman, Yogyakarta
55283
Telp./Fax.: (0274) 487 032
E-mail: kisahcupid@yahoo.com
[+friendster]
Dipasarkan oleh
Cupid Books Distributor (CBD)
e-mail: bukucupid@gmail.com
www.cupiders.com9

Pengantar Penulis

Atas nama-Nya yang Maha Suci.Terimakasih atas segala karunia-Mu, sehingga novel pendek yang sederhana  ini bisa penulis rampungkan, meski dengan berbagai kekurangan (segala kesempurna-
an hanya milik-Mu).Terimakasih kepada penebar kasih sayang dan inspirasi bagi penulis, Ayahanda Ahmad Jamhari dan Bunda Khadmini. Kepada orang tua dan guru yang membuka kejumudan pemikiran penulis,
Om Zaenuri Ahmad dan Tante Rubiyah. Kepada Mbah Kakung dan Mbah Putri Abdul Qomar, Mbah Kakung Ahmad Arfi'i (alm) dan mbah putri, kanda Syarifudin dan Yunda Sulis Romlinarni, tante Sudi
Rokhayati, tante Pursini, serta segenap keluarga besar Bani Husein yang mengajarkan betapa mulianya sebuah jalinan ukhuwah dan silaturahmi. Kepada kawan-kawan di Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Ibnu Sina, Cabang Purwokerto yang selalu bersedia bersama penulis belajar dan bergerak bersama menjaga ruh perjuangan sebagai generasi muslim yang terus berusaha istiqomah mewujudkan cita-cita mulia agama sebagai  rakhmatan lil‘alamin.
Kepada segenap kelurga besar harian METEOR (Jawa Pos Group), CV. Sambung Nyowo Goup Yogyakarta, dan Cupid Media Group Yogyakarta, yang senantiasa membantu, membimbing, dan bekerja
sama, sehingga penulis bisa belajar pro fessional dalam menatap masa depan yang
penuh realitas.Dengan mengharap rakhmat dan ridha-Nya Yang Maha Baik, penulis persembahan karya sederhana ini kepada istri tercinta, Fefin Dwi Setyawati.

Isi Buku
Pengantar Penulis9
Isi Buku13
Sketsa Kata ‘Cinta’15
Malam Pucat Pasi25
Warta Berita Pilu34
Belantara Kebimbangan44
Air Mata  Ketegaran54
Mengukir Jejak Masa Depan65
Tentang Penulis741415

Sketsa Kata ‘Cinta’

NAFAS zaman yang terus berhembus dan menembus sekat-sekat waktu, seperti telah berhenti di sini. Di tempat aku hidupdengan segala kebimbangan dan kegelisahan. Saat seperti ini, biasanya kau selalu ada, dengan segala kata cinta mu. 

“Dunia belum kiamat sayang, sebelum cinta benar-benar musnah dari hati manusia,” begitulah katamu, selalu.

Aku tak tahu kenapa kamu masih terus menghembuskan kata cinta, kata yang tak pernah ku anggap penting selama ini. Bukankah kau tahu, selama ini aku engganmengatakannya kepadamu, dan semua or-
ang yang kukenal? Tentu kau juga tahu apa sebabnya. Ya, karena aku menyadari, aku terlahir bukan untuk membahagiakan siapapun, termasuk kamu. Bagaimana mungkin kebahagiaan bisa tercipta dari hati yang menihilkan cinta?

“Kalau memang pikiranmu itu benar, berarti di hatimu hanya ada nafsu. Tapi bagiku itu bukan masalah. Aku bisa menerima dan menikmati segala nafsumu, jangan khawatir sayang”. Itu jawaban yang
bagiku hanya sebuah pengingkaran rasa kecewamu.

Kau memang perempuan yang istimewa. Setidaknya, berbeda dengan perempuan-perempuan lain yang sempat menganggapku sebagai kekasihnya. Meski begitu, belum sepenuhnya aku yakin bahwa ada cinta sempurna di hatiku untukmu. 

“Bahkan, aku pernah mengira kalau dulu Tuhan sebenarnya ingin menciptakan aku sebagai setan. Namun, api yang sedianya menjadi bahan telah habis digunakan oleh manusia untuk membakar bumi dengan bom, peluru, atau korek api. Sehingga aku dicipta-Nya  dengan bahan sebagaimana manusia,” aku menegaskan. 

“Jadi jangan  kaget kalau aku selalu menyusahkan banyak orang, dan aku justeru merasa bahagia karenanya. Kiranya hal itu sudah cukup membuktikan bahwa aku bukanlah manusia seutuhnya”.
Tapi kamu hanya tersenyum mendengar kata-kataku yang meluncur, tepat menancap di hatimu. 

Aku hanya meraba-raba sikapmu, entah karena paham, atau justeru megacuhkan. Rasanya aku ingin berhemat kata di hadapanmu, jadi aku hanya bisa membatin. Tak masalah, jika kau menganggapku gila. Aku justeru bangga jika semakin banyak orang menganggapku gila. Paling tidak, aku sedikit punya kemiripan dengan orang-orang hebat seperti  Rosul-Rosul yang pada zamannya dianggap gila oleh para
penguasa dzalim.

Pernah aku mencoba berimajinasi menjadi malaikat, tepatnya ketika mengakui masih ada cinta di hatiku untuk seseorang. Saat-saat seperti itulah aku ingin mengumpulkan kembali serpihan kata cinta, dan ingin ku ucapkan padamu. Tapi ternyata kata cinta untukmu masih serupa sketsa, dan aku tak pernah bisa sempurna untuk mengutarakannya, dengan mulut maupun hatiku.

Sudah jelas kiranya, ketika pertama kali aku mengatakan cinta padamu, di suatu malam muram lagi pucat pasi, sesungguhnya itu sekadar bualan. Aku masih  menyisakan kata yang sama untuk orang lain yang pernah jatuh dalam pelukanku, dan sampai akhir nafasnya menyebut namaku, bukan nama Tuhannya.

Perasaan itu ada sampai sekarang, ketika masih saja aku berdiri di bumi manusia, melalui malam-malam yang
selalu pucat pasi, meski purnama masih rela meninggalkan separuh wajahnya. Kukira, kau tak tahu tentang perasaank yang demikian. Sebagaimana kau tak tahu kalau sebenarnya aku muak memandang purnama sempurna yang selalu kau kagumi. Aku benci sesuatu yang dianggap sempurna.

Sepertinya aku memang tak mampu berimajinasi menjadi malaikat, yang di hatinya hanya ada cinta tunggal kepada Sang Khaliq. Lagipula, tak banyak waktu bagiku untuk bermimpi. Aku tegaskan sekali lagi,  aku bukan manusia seutuhny seperti angapanmu. Bukankah hanya manusia sempurna yang bisa dibuai oleh
mimpi?
Banyak manusia menobatkan dirinya sebagai makhluk yang paling sempurna, tapi kenyataannya mereka penuh cacat, dengan segala kemunafikannya. Ku pikir, setan yang mengakui kejahatannya dan terang-terangan menginginkan neraka sebagai tempat berabadinya, lebih kesatria dibandingkan manusia.
Bagiku ironis, ketika manusia berfikir bahwa merekalah yang memiliki sifat sempurna termasuk cinta sempurna, namun membantah bahwa mereka memiliki nafsu angkara yang sempurna pula. Ketika berbuat kejahatan, manusia selalu ngotot berkilah,  tak merasa bersalah, dan selalu mengkambing hitamkan setan.
Hanya setan lah yang jahat, karena itu adalah takdir Tuhan yang tak bisa diralat!

“Tapi bagaimana mungkin cinta bisa bersenyawa dengan nafsu, bisa kau jelaskan?” tiba-tiba kamu bertanya, lagi-lagi seolah mendengar segala kata-kata dalam batinku.

“Gampang Saja. Bercintalah dengan siapa saja yang kamu sukai. Kamu pasti akan merasakan betapa cinta akan bersenyawa dengan nafsu,” jawabku.

Kamu hanya tersenyum, segaris makna yang menyiratkan pikiranmu yang enggan membantah kata-kataku. Aku kira kamu juga tahu, jika setan juga gemar ‘bersenggama’ dengan manusia, dan itu murni hanya nafsu yang menguasai. Kenikmatan birahi itulah yang juga menyebabkan api di dunia ini hampir habis, sehingga Tuhan menciptakan setan-setan baru denga bahan serupa manusia. Buktinya, sekarang banyak perang berkobar dimana-mana, banyak bom yang diledakkan para teroris. Akibatnya, banyk anak menjadi yatim piatu, istri menjadi janda, atau manusia-manusia yang terancam dinistakan karena cacat.

“Kalau bukan nafsu, termasuk birahi, lalu apa? Benarkah ada perang, pembantaian, dan penindasan atas dasar cinta? Tanyakan saja itu pada para teroris, tentara, polisi, jaksa, pengacara, hakim, koruptor, atau para abdi Negara yang setia kepada rezim penguasa yang melanggengkan hukum thaghut,” jawabku dengan mata nanar.

Kali ini kamu tidak hanya tersenyum, tapi tertawa, seolah mewakili kata-kata tersembunyi yang membantah semua pikiranku.

“Ternyata kamu belum pantas disebut sebagai setan sejati, sayang”.

Aku memilih diam. Menyelami tatapanmu yang tak pernah redup, selalu menyala, dan selalu siap membakar segala imajinasi liarku. Barangkali benar aku bukan setan, hanya manusia setengah setan. Sebab, baru hanya dengan mu saja aku sempat melakukan eksperimen yang disebut manusia ‘memadukan antara cinta dan nafsu’, dan aku tak punya keinginan melakukannya selain denganmu.

Saat malam yang juga pucat pasi itu, dimana ada kepura-puraan dalam keterpaksaanmu, sama sekali bukan cinta yang bertakhta di hatiku. Itu nafsu yang terbebas dari kekangnya. Jadi silakan saja kau menyesal, dan hanya akan kutertawakan. Buat apa kamu menyesal apakah karena sekarang aku menghindar, sehinga
kau tak bisa lagi mereguk dosa yang indah itu bersamaku? Bukankah kau bisa mendapatkannya dari manusia yang lebih sempurna?

Menangislah, karena bukan hanya kau yang menangis. Dimana ada api dendam benci, angkara, dan penderitaan di dunia ini, maka air mata pasti akan tumpah ruah. Lantas, air mata itu oleh setan-setan dijadikan minyak yang bisa membesarkan nyalanya.

Jika kau menangis tapi bukan karena ada darah yang mengalir di hadapanmu, barangkali masih beruntung. Tentunya, nyala setan akan lebih kuat jika campuran darah dan air mata menjadi bahan bakarnya.
“Aku ragu, jika apa yang bermuara di hatimu atas segala tentang aku, bukan cinta. Aku yakin itu cinta,” katamu, seperti hendak menyematkan seutuhnya jiwamu di qalbuku.

Aku tak ingin menjawab. Kau dan aku sama-sama menghela nafas, memandang bulan separuh purnama yang nyaris tertelan mega-mega yang kelam, berarak di geligir langit, seperti melukiskan segala gelisahku. Aku hanya berharap, kamu benar-benar yakin dalam menentukan pilihan. Kamu tahu, banyak manusia yang
tak tahan dengan cara hidupku. Apakah kamu ingin menjadi manusia sempurna, dengan menjauhiku, atau menjadi manusia setengah setan karena tetap bertahan
dalam rengkuhanku? Entahlah.[]  25


Malam Pucat Pasi

SAAT malam seperti ini, dimana langit terlihat pasi, aku akan selalu teringat padamu. Bukan karena rindu, apalagi cinta, tapi aku mengingatmu karena tak mungkin melupakanmu.
Sebelumnya aku sendiri tak menduga, bahwa cerita-cerita kehidupan kita mirip dengan cerita-cerita pendek yang pernah ku tulis saat malam seperti ini. Dimana ada bintang yang kau namai 'Lunadeva' barangkali itu tokoh imajinasimu,  semacam dalam komik atau cerita kartun Jepang. Ya, kerlingnya mengharu biru memandang kesepianku. 

Sepertinya aku mengalami dejavu, pada suatu malam yang pucat. Malam yang sama seperti saat aku mengenalmu pertama kali. Kala itu, aku terpesona ketika menontonmu melakonkan kisah para penari  ronggeng, dalam sebuah pementasan teater  di kampusmu.

Sebelumnya, pernah aku mengira, dengan mengenalmu segala kesepian yang selalu menjadi bagian dari denyut hidupku ini akan sirna, dan tergantikan dengan hidup yang penuh hingar-bingar; seperti kehidupan para penari  ronggeng yang kau pentaskan dan ku tonton dengan penuh kekaguman. 

Aku memang selalu betah melihat tarian; gemulai  gesture tubuh wanita dengan langkah anggun, jemari lentik, dan mata yang penuh gairah hidup. Tapi ternyata aku keliru. Kau malah membuat hidupku makin terkutuk oleh kegelisahan.

Entahlah. Aku justeru merasakan itu setelah mulai menggombal sebagaimana lelaki kebanyakan, dengan mengucapkan kata ‘sayang’, sebagai pengganti nama panggilanmu. Kenapa harus kata ‘sayang’ bukan kata ‘cinta’? Tentu, karena aku pernah mempercayai kata sayang lebih bagus, lebih dalam maknanya, lebih punya
‘greget’ ketimbang kata ‘cinta’ yang sampai saat ini setengah hati ku ucapkan padamu, terlebih kepada orang lain. Tapi  kalau mau sedikit berterus terang, sesungguhnya aku memang belumlah terlalu paham dengan definisi kata ‘sayang’, sebagaimana kata ‘cinta’. Entah keduanya merupakan padanan kata, atau malah kata yang nihil akan makna. Kendati aku pernah berobsesi memahami makna kata ‘cinta’ selayaknya
seorang penyair, tapi ternyata aku tak mampu. Mungkin karena aku terlalu bodoh, atau memang sudah terlanjur antipati dengan kata ‘cinta’.Ratusan puisi cinta yang kubaca, dari Chairil Anwar, Ghote, hingga Shakespeare, tak pernah jelas mengartikan kata ‘cinta’. Sepertinya cinta memang tak perlu dibahasakan, tak perlu dimaknai terlalu muluk-muluk. Cinta bukan sekadar kata ‘cinta’.

Aku tak tahu, apakah kamu cerdas atau mungkin juga terlalu lugu. Aku berfirasat, kamu telah berbohong dalam satu hal, dan telah terang-terangan menipuku, yang paling menyakitkan adalah karena kata cintamu penuh keterpaksaan. Kamu menganggap cintamu sempurna, dan hanya untuk aku seorang. Tahukah kamu, itu sungguh aib bagiku! Tentunya kamu lakukan itu tanpa sadar. Aku memang tak ingin membuktikannya secara ilmiah dan rasional sebagaimana perinsip keilmuan yang mensyaratkan segala  tetek-bengek yang serba njlimet.

Entahlah, aku sekarang lebih tertarik menggunakan asumsi-asumsi yang bersifat subjektif. Toh, sebuah klaim atas kasus-kasus tertentu, tak semuanya memerlukan bukti? Kamu tentunya masih ingat dengan
seseorang yang dulu pernah dianggap sebagai Bapak Pembangunan di zaman Orde Baru dalam sejarah negeri kita? Bukankah dia jelas-jelas telah melakukan maha kekejian yang merampas segala bentuk hak
kemanusiaan orang-orang lemah di negeri ini? Padahal, tidak kurang-kurang bukti mengenai tindak kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ia lakukan. Tentu Dia tak sendiri, ada sebelum dan sesudahnya
yang menjadi penguasa, dan melakukan hal sama di negeri ini, atau di segala negeri. Tapi siapa manusia yang menghukumnya? Siapa pula yang berani memenjarakannya? Bahkan, saat kematiannya diperingati begitu agung layaknya pahlawan? Oh, please, jangan kau jawab; Tuhan-lah yang akan menghukumnya.

Barangkali memang Tuhan yang akan menghukum dan memenjarakannya. Tapi aku tak ingin membahas tentang hukuman apa yang nanti akan ditimpakan Tuhan. Tentunya karena aku tak berani membahas tentang Tuhan, apalagi memikirkan-Nya. Bukankah Tuhan memang hanya patut ditaati dan disembah?
Jika dilihat dari persepektif keadilan ala manusia, tentunya kau sepakat jika ku katakan bahwa perbuatan para penegak hukum yang membebaskan penjahat kelas kakap itu sungguh biadab, karena tak sebanding dengan apa yang dilakukan kepada seorang kawanku. Dia pernah mendekam di bui, hanya karena demonstrasi menolak segala kebijakan pemerintah yang menindas rakyat. Dia menjadi korban fitnah para intelejen aparat. Temanku dituduh melakukan makar, dijerat pasal-pasal hukum warisan zaman feodal. Itu bukti nyata jika kadangkala sikap purbasangka bisa dijadikan landasan kebenaran atas sebuah tuduhan. Bukankah para birokrat dan petinggi negara kita telah mengajarkan hal demikian? itu pula yang mungkin berlaku atas tuduhanku padamu.

Tapi sudahlah. Aku tak mau kau beranggapan aku hanya ingin membuat skenario permusuhan denganmu.  Toh, tanpa seperti itu pun, cepat atau lambat kau pasti akan meninggalkan atau mengusirku dari hatimu. Sekarang atau nanti, kau mungkin akan benar-benar membenciku, pada suatu ketika dimana kau akan menyadari betapa aku sebenar nya bukan seorang yang istimewa seperti dalam bayanganmu selama ini.

Aku enggan  berkelit untuk membela diri, bahwa segala yang ku perbuat selama ini benar-benar lahir dari nurani kemanusiaanku. Kau tak perlu lagi terpukau dengan gerakanku saat mahasiswa di jalan-jalan, menyuarakan borok penguasa, meneriakkan Revollusi! membela mustadl ‘afin (kaum tertindas). Atau torehan pena ku di media massa yang lantang dalam mengoreksi kebijakan penguasa. Semua itu hanya tampak di permukaan saja, nilailah itu hanya sebagai sensasi belaka. Toh, siapa bisa tahu isi hati seseorang?

Aku pikir sah-sah saja siapapun memberi penilaian terhadapku. Perkara dosa atau tidak, itu bukan urusan kita. Sekali lagi ku katakan, betapa kau akan menyesal, jika kau tahu betapa aku hanyalah seorang pemain teater kehidupan yang penuh hipokrisi (kemunafikan). Aku tak tahu pastinya benar atau salah apa yang kumainkan, sesuai atau tidak dengan tuntutan naskah Sang sutradara kehidupan. Tapi aku yakin akan kebenaran improvisasi ku saat berperan.

Aku pikir, kau adalah wanita luar biasa yang memiliki insting cukup tajam, sehingga mampu mendeteksi betapa aku tak sebaik dugaanmu, tak sehebat yang kau kira. Aku masih menyimpan banyak rahasia yang tak akan pernah kau tahu seluruhnya. Kau tak tahu kalau aku telah memperlakukanmu seperti seorang wanita
yang mengaku telah mencintaiku. Kau dan dia memang berbeda, tapi sama ketika mengucap kata cinta,  pun aroma kata-katanya.

Kamu tentunya sudah semakin paham, bahwa kata cinta dari mulutku tak lebih dari kotoran. Aku memang manusia yang tak pantas kau harapkan untuk masa depanmu. Masihkah kau mau mengatakan cinta padaku? Aku harap tidak. Sebab, aku akan pergi untuk mengejar ambisiku. Aku tak tahu kapan kembali, atau mungkin ketika kau ternyata menyusulku kelak, belum tentu aku sudah berubah.[]34

Selengkapnya silakan baca di naskah yang sudah dibukukan. Cetak terbatas, terlebih setelah 'dicekal' orang dekat. :)