Pujian untuk Novel Bulan Separuh Purnama
Novel Cinta Tetapi Tidak Picisan.
“Novel cinta tetapi tidak lebay dan picisan. Perjalanan
cinta seorang jurnalis penuh kontemplatif membuat pesan-pesanya jadi berbobot.
Membaca novel ini saya berkesimpulan cinta tidak mesti cengeng dan remeh temeh.
Cinta juga bisa menjadi inspirasi untuk mengekspresikan kegelisahan, pergolakan
batin, dan sarana curhat masalah-masalah berat. Sebagai teman kerja saya
memahami Fafa termasuk jurnalis yang komit menjalankan misinya. Bahkan cinta
pun tak lepas dari misi dan karakter Fafa yang rajin menyelipkan kegelisahan
banyak orang.”
(Bejan Syahidan, Pemred
METEOR).
Novel Sekaliber Penulis Dunia.
“Ja’faruddin yang saya kenal adalah seorang jurnalis
muda yang kreatif, pekerja keras, dan idealis seperti kisah dalam novel ini. Dengan
bahasanya yang filosofis dan romantis, saya seperti membaca karya penulis dunia
sekaliber Mulasadra atau Albert Camus.”
(Yoebal Rasyid, Wartawan
Harian Republika di Yogyakarta)
Lebih Dari Sekadar Berbobot.
“Sebelum membaca novel ini, saya sudah yakin
isinya pasti lebih dari sekadar berbobot, mengingat Mas Fafa bukan orang baru
di dunia sastra. Seusai membaca, saya cukup tertegun, karena lebih dari praduga
saya sebelumnya. Sebuah sketsa piramida jiwa seorang yang terbangun melalui pelbagai
gejolak realitas masyarakat yang cukup pelik, upaya menyobek potret buram sosial
Indonesia yang telah lama mengendap dan kian membeku.”
(Wahyu NH. Aly, Budayawan,
penulis Novel ‘Metamorfosis Cinta’ dan ‘Under The Moon’).
Biografi Fiksi yang Inspiratif
“Saya melihat novel ini adalah
biografi fiksi yang penuh inspirasi. Dalam novel ini Fafa (Sapaan akrab
Ja’faruddin) yang dulu saya kenal sebagai aktivis mahasiswa, seperti kembali
menuangkan kegelisahannya atas segala realitas ketidak adilan yang terus dilanggengkan
oleh sistem kekuasaan. Meski dibungkus romantisme, novel ini tetap menonjolkan
nilai sesungguhnya, yaitu
sebentuk perjuangan melawan
penindasan.”
(Barid Hardiyanto, Relawan
Pejuang Demokrasi di Banyumas, Penulis buku ‘Pendidikan Rakyat Petani’)
Istimewa dan Berkarakter
“Novel yang istimewa. Saat
membacanya saya sebagai pengacara merasa tersentil, memang sistem peradilan di
Indonesia layak dikritik. Novel Ja’far ini memang berkarakter, sebagaimana
penulisnya yang saya kenal sebagai jurnalis yang berkarakter,”
(Tri Pomo M Yusuf, SH, Advokat
Konsultan Hukum di Yogyakarta)
Menggugah Jiwa Kemanusiaan
“Fafa memang adik saya di HMI
yang penuh kreatifitas dan multi talenta. Selain sebagai wartawan yang sudah
teruji kompetensinya, Fafa pantas disebut sebagai sastrawan. Kata- kata dalam
novelnya ini penuh perenungan dan mampu menggugah jiwa kemanusiaan bagi
pembacanya,”
Potret Sang Jurnalis Pejuang
“Kebobrokan sistem
pemerintahan yang korup dan putusan peradilan yang sering mencederai rasa keadilan masyarakat
serta kurangnya political will pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi
yang menimpa hampir semua lini instansi pemerintah dan penegak hukum di negeri
ini, digambarkan dengan bahasa
yang menyentuh dalam novel ini. Saya sungguh terpukau. Setidaknya saya melihat
bahwa penulisnya yang selama ini saya kenal sebagai seorang jurnalis yang
konsisten menyuarakan penderitaan rakyat kecil dan korban Mafioso para penegak
hukum,
ternyata juga seorang yang
sangat romantis.”
(Sarifudin M Kasim, SH, Kepala
Bidang Investigasi dan Penindakan Jogja Coruption Watch)
Sungguh Sarat Makna
“Setelah saya membaca novelnya
Mas Fafa, penulis mengajak kita untuk selalu berintropeksi diri terhadap apa
yang telah kita perbuat sebagai manusia yang tidak akan pernah luput dari
kesalahan. Novel ini sungguh sarat makna.”
(Andi Abbas Ahmad, S.Fil.I.
Sekretaris Umum DPD Pemuda Islam DIY)
Bulan Separuh Purnama
Ja’faruddin
All Right Reserved
ISBN ~10: 979-2494-92-8
ISBN ~ 13: 978-979-2494-92-1
Cetakan Pertama MEI 2011
Tata Letak: Lian
Desain Cover: Gen_0
Diterbitkan oleh Cupid Media
Group
Jl. Wahid Hasyim, Gg Menur No.
75
Condongcatur, Sleman,
Yogyakarta
55283
Telp./Fax.: (0274) 487 032
E-mail: kisahcupid@yahoo.com
[+friendster]
Dipasarkan oleh
Cupid Books Distributor (CBD)
e-mail: bukucupid@gmail.com
www.cupiders.com9
Pengantar Penulis
Atas nama-Nya yang Maha Suci.Terimakasih atas segala
karunia-Mu, sehingga novel pendek yang
sederhana ini bisa penulis rampungkan, meski
dengan berbagai kekurangan (segala
kesempurna-
an hanya milik-Mu).Terimakasih kepada penebar
kasih sayang dan inspirasi bagi
penulis, Ayahanda Ahmad Jamhari dan
Bunda Khadmini. Kepada orang tua dan
guru yang membuka kejumudan pemikiran
penulis,
Om Zaenuri Ahmad dan Tante
Rubiyah. Kepada Mbah Kakung dan Mbah
Putri Abdul Qomar, Mbah Kakung Ahmad
Arfi'i (alm) dan mbah putri, kanda
Syarifudin dan Yunda Sulis Romlinarni,
tante Sudi
Rokhayati, tante Pursini,
serta segenap keluarga besar Bani Husein
yang mengajarkan betapa mulianya
sebuah jalinan ukhuwah dan
silaturahmi. Kepada kawan-kawan di Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI)
Komisariat Ibnu Sina, Cabang Purwokerto yang
selalu bersedia bersama penulis
belajar dan bergerak bersama menjaga ruh
perjuangan sebagai generasi muslim yang
terus berusaha istiqomah mewujudkan
cita-cita mulia agama sebagai rakhmatan lil‘alamin.
Kepada segenap kelurga besar
harian METEOR (Jawa Pos Group), CV.
Sambung Nyowo Goup Yogyakarta, dan
Cupid Media Group Yogyakarta, yang
senantiasa membantu, membimbing, dan
bekerja
sama, sehingga penulis bisa
belajar pro fessional dalam menatap masa
depan yang
penuh realitas.Dengan mengharap rakhmat dan ridha-Nya Yang Maha Baik,
penulis persembahan karya sederhana ini
kepada istri tercinta, Fefin Dwi
Setyawati.
Isi Buku
Pengantar Penulis9
Isi Buku13
Sketsa Kata ‘Cinta’15
Malam Pucat Pasi25
Warta Berita Pilu34
Belantara Kebimbangan44
Air Mata Ketegaran54
Mengukir Jejak Masa Depan65
Tentang Penulis741415
Sketsa Kata ‘Cinta’
NAFAS zaman yang terus
berhembus dan menembus sekat-sekat
waktu, seperti telah berhenti di sini. Di
tempat aku hidupdengan segala kebimbangan dan
kegelisahan. Saat seperti ini, biasanya
kau selalu ada, dengan segala kata cinta
mu.
“Dunia belum kiamat sayang,
sebelum cinta benar-benar musnah dari
hati manusia,” begitulah katamu,
selalu.
Aku tak tahu kenapa kamu masih
terus menghembuskan kata cinta, kata
yang tak pernah ku anggap penting
selama ini. Bukankah kau tahu, selama ini
aku engganmengatakannya kepadamu, dan
semua or-
ang yang kukenal? Tentu kau juga tahu apa
sebabnya. Ya, karena aku menyadari, aku
terlahir bukan untuk membahagiakan siapapun,
termasuk kamu. Bagaimana mungkin
kebahagiaan bisa tercipta dari hati
yang menihilkan cinta?
“Kalau memang pikiranmu itu
benar, berarti di hatimu hanya ada
nafsu. Tapi bagiku itu bukan masalah. Aku
bisa menerima dan menikmati segala
nafsumu, jangan khawatir sayang”. Itu
jawaban yang
bagiku hanya sebuah
pengingkaran rasa kecewamu.
Kau memang perempuan yang istimewa. Setidaknya, berbeda
dengan perempuan-perempuan lain yang
sempat menganggapku sebagai
kekasihnya. Meski begitu, belum sepenuhnya aku
yakin bahwa ada cinta sempurna di
hatiku untukmu.
“Bahkan, aku pernah mengira
kalau dulu Tuhan sebenarnya ingin
menciptakan aku sebagai setan. Namun, api
yang sedianya menjadi bahan telah
habis digunakan oleh manusia untuk
membakar bumi dengan bom, peluru, atau
korek api. Sehingga aku dicipta-Nya dengan bahan sebagaimana manusia,” aku menegaskan.
“Jadi jangan kaget kalau aku selalu menyusahkan banyak orang, dan
aku justeru merasa bahagia
karenanya. Kiranya hal itu sudah cukup
membuktikan bahwa aku bukanlah manusia
seutuhnya”.
Tapi kamu hanya tersenyum mendengar kata-kataku yang
meluncur, tepat menancap di hatimu.
Aku hanya
meraba-raba sikapmu, entah karena
paham, atau justeru megacuhkan. Rasanya aku ingin berhemat
kata di hadapanmu, jadi aku hanya bisa
membatin. Tak masalah, jika kau
menganggapku gila. Aku justeru bangga jika
semakin banyak orang menganggapku
gila. Paling tidak, aku sedikit punya
kemiripan dengan orang-orang hebat seperti
Rosul-Rosul yang pada zamannya dianggap gila
oleh para
penguasa dzalim.
Pernah aku mencoba
berimajinasi menjadi malaikat, tepatnya
ketika mengakui masih ada cinta di
hatiku untuk seseorang. Saat-saat seperti
itulah aku ingin mengumpulkan kembali
serpihan kata cinta, dan ingin ku
ucapkan padamu. Tapi ternyata kata cinta
untukmu masih serupa sketsa, dan aku tak
pernah bisa sempurna untuk mengutarakannya, dengan mulut maupun hatiku.
Sudah jelas kiranya, ketika
pertama kali aku mengatakan cinta
padamu, di suatu malam muram lagi pucat
pasi, sesungguhnya itu sekadar
bualan. Aku masih menyisakan kata yang sama untuk orang lain yang pernah jatuh
dalam pelukanku, dan sampai akhir
nafasnya menyebut namaku, bukan nama Tuhannya.
Perasaan itu ada sampai
sekarang, ketika masih saja aku berdiri
di bumi manusia, melalui malam-malam
yang
selalu pucat pasi, meski
purnama masih rela meninggalkan separuh
wajahnya. Kukira, kau tak tahu tentang
perasaank yang demikian. Sebagaimana kau
tak tahu kalau sebenarnya aku muak
memandang purnama sempurna yang selalu
kau kagumi. Aku benci sesuatu yang
dianggap sempurna.
Sepertinya aku memang tak
mampu berimajinasi menjadi malaikat,
yang di hatinya hanya ada cinta
tunggal kepada Sang Khaliq. Lagipula, tak
banyak waktu bagiku untuk bermimpi. Aku
tegaskan sekali lagi, aku bukan manusia seutuhny seperti angapanmu. Bukankah
hanya manusia sempurna yang bisa
dibuai oleh
mimpi?
Banyak manusia menobatkan
dirinya sebagai makhluk yang paling
sempurna, tapi kenyataannya mereka penuh
cacat, dengan segala kemunafikannya.
Ku pikir, setan yang mengakui
kejahatannya dan terang-terangan menginginkan
neraka sebagai tempat berabadinya,
lebih kesatria dibandingkan manusia.
Bagiku ironis, ketika manusia
berfikir bahwa merekalah yang memiliki
sifat sempurna termasuk cinta
sempurna, namun membantah bahwa mereka memiliki nafsu angkara yang
sempurna pula. Ketika berbuat
kejahatan, manusia selalu ngotot berkilah, tak merasa bersalah, dan selalu mengkambing
hitamkan setan.
Hanya setan lah yang jahat,
karena itu adalah takdir Tuhan yang tak
bisa diralat!
“Tapi bagaimana mungkin cinta
bisa bersenyawa dengan nafsu, bisa
kau jelaskan?” tiba-tiba kamu
bertanya, lagi-lagi seolah mendengar segala
kata-kata dalam batinku.
“Gampang Saja. Bercintalah
dengan siapa saja yang kamu sukai.
Kamu pasti akan merasakan betapa cinta
akan bersenyawa dengan nafsu,”
jawabku.
Kamu hanya tersenyum, segaris
makna yang menyiratkan pikiranmu
yang enggan membantah kata-kataku. Aku
kira kamu juga tahu, jika setan juga
gemar ‘bersenggama’ dengan manusia, dan itu
murni hanya nafsu yang menguasai.
Kenikmatan birahi itulah yang juga
menyebabkan api di dunia ini hampir habis,
sehingga Tuhan menciptakan setan-setan baru
denga bahan serupa manusia. Buktinya, sekarang banyak
perang berkobar dimana-mana, banyak
bom yang diledakkan para teroris.
Akibatnya, banyk anak menjadi yatim piatu,
istri menjadi janda, atau manusia-manusia
yang terancam dinistakan karena
cacat.
“Kalau bukan nafsu, termasuk
birahi, lalu apa? Benarkah ada perang,
pembantaian, dan penindasan atas dasar
cinta? Tanyakan saja itu pada para
teroris, tentara, polisi, jaksa, pengacara,
hakim, koruptor, atau para abdi Negara yang
setia kepada rezim penguasa yang
melanggengkan hukum thaghut,” jawabku dengan
mata nanar.
Kali ini kamu tidak hanya
tersenyum, tapi tertawa, seolah mewakili
kata-kata tersembunyi yang membantah semua pikiranku.
“Ternyata kamu belum pantas
disebut sebagai setan sejati, sayang”.
Aku memilih diam. Menyelami tatapanmu yang tak pernah
redup, selalu menyala, dan selalu siap
membakar segala imajinasi liarku. Barangkali
benar aku bukan setan, hanya manusia
setengah setan. Sebab, baru hanya
dengan mu saja aku sempat melakukan
eksperimen yang disebut manusia ‘memadukan
antara cinta dan nafsu’, dan aku tak punya
keinginan melakukannya selain denganmu.
Saat malam yang juga pucat
pasi itu, dimana ada kepura-puraan dalam
keterpaksaanmu, sama sekali bukan
cinta yang bertakhta di hatiku. Itu nafsu
yang terbebas dari kekangnya. Jadi silakan
saja kau menyesal, dan hanya akan
kutertawakan. Buat apa kamu menyesal apakah karena sekarang aku
menghindar, sehinga
kau tak bisa lagi mereguk dosa
yang indah itu bersamaku? Bukankah kau
bisa mendapatkannya dari manusia
yang lebih sempurna?
Menangislah, karena bukan
hanya kau yang menangis. Dimana ada api
dendam benci, angkara, dan
penderitaan di dunia ini, maka air mata pasti akan
tumpah ruah. Lantas, air mata itu oleh
setan-setan dijadikan minyak yang bisa
membesarkan nyalanya.
Jika kau menangis tapi bukan
karena ada darah yang mengalir di
hadapanmu, barangkali masih beruntung.
Tentunya, nyala setan akan lebih kuat
jika campuran darah dan air mata menjadi
bahan bakarnya.
“Aku ragu, jika apa yang
bermuara di hatimu atas segala tentang
aku, bukan cinta. Aku yakin itu cinta,”
katamu, seperti hendak menyematkan seutuhnya
jiwamu di qalbuku.
Aku tak ingin menjawab. Kau
dan aku sama-sama menghela nafas,
memandang bulan separuh purnama yang
nyaris tertelan mega-mega yang kelam,
berarak di geligir langit, seperti
melukiskan segala gelisahku. Aku hanya berharap,
kamu benar-benar yakin dalam
menentukan pilihan. Kamu tahu, banyak
manusia yang
tak tahan dengan cara hidupku.
Apakah kamu ingin menjadi manusia
sempurna, dengan menjauhiku, atau
menjadi manusia setengah setan karena tetap
bertahan
dalam rengkuhanku?
Entahlah.[] 25
Malam Pucat Pasi
SAAT malam seperti ini, dimana
langit terlihat pasi, aku akan selalu
teringat padamu. Bukan karena rindu,
apalagi cinta, tapi aku mengingatmu
karena tak mungkin melupakanmu.
Sebelumnya aku sendiri tak
menduga, bahwa cerita-cerita kehidupan
kita mirip dengan cerita-cerita pendek
yang pernah ku tulis saat malam seperti
ini. Dimana ada bintang yang kau namai 'Lunadeva' barangkali itu
tokoh imajinasimu, semacam dalam komik atau
cerita kartun Jepang. Ya, kerlingnya
mengharu biru memandang kesepianku.
Sepertinya aku mengalami dejavu, pada suatu
malam yang pucat. Malam yang sama seperti
saat aku mengenalmu pertama kali. Kala
itu, aku terpesona ketika menontonmu
melakonkan kisah para penari ronggeng, dalam sebuah pementasan teater di kampusmu.
Sebelumnya, pernah aku
mengira, dengan mengenalmu segala
kesepian yang selalu menjadi bagian dari
denyut hidupku ini akan sirna, dan
tergantikan dengan hidup yang penuh
hingar-bingar; seperti kehidupan para
penari ronggeng yang kau pentaskan dan ku
tonton dengan penuh kekaguman.
Aku memang
selalu betah melihat tarian;
gemulai gesture tubuh wanita dengan langkah
anggun, jemari lentik, dan mata yang
penuh gairah hidup. Tapi ternyata aku
keliru. Kau malah membuat hidupku makin terkutuk
oleh kegelisahan.
Entahlah. Aku justeru
merasakan itu setelah mulai menggombal
sebagaimana lelaki kebanyakan, dengan
mengucapkan kata ‘sayang’, sebagai
pengganti nama panggilanmu. Kenapa harus kata
‘sayang’ bukan kata ‘cinta’? Tentu,
karena aku pernah mempercayai kata sayang
lebih bagus, lebih dalam maknanya,
lebih punya
‘greget’ ketimbang kata
‘cinta’ yang sampai saat ini setengah hati ku
ucapkan padamu, terlebih kepada orang lain. Tapi kalau mau sedikit berterus terang, sesungguhnya aku
memang belumlah terlalu paham dengan
definisi kata ‘sayang’, sebagaimana
kata ‘cinta’. Entah keduanya merupakan
padanan kata, atau malah kata yang nihil
akan makna. Kendati aku pernah berobsesi memahami makna kata ‘cinta’
selayaknya
seorang penyair, tapi ternyata
aku tak mampu. Mungkin karena aku
terlalu bodoh, atau memang sudah
terlanjur antipati dengan kata ‘cinta’.Ratusan puisi cinta yang
kubaca, dari Chairil Anwar, Ghote, hingga
Shakespeare, tak pernah jelas mengartikan
kata ‘cinta’. Sepertinya cinta memang tak
perlu dibahasakan, tak perlu
dimaknai terlalu muluk-muluk. Cinta bukan
sekadar kata ‘cinta’.
Aku tak tahu, apakah kamu
cerdas atau mungkin juga terlalu lugu. Aku
berfirasat, kamu telah berbohong dalam
satu hal, dan telah terang-terangan
menipuku, yang paling menyakitkan adalah karena
kata cintamu penuh keterpaksaan. Kamu
menganggap cintamu sempurna, dan
hanya untuk aku seorang. Tahukah kamu, itu
sungguh aib bagiku! Tentunya kamu
lakukan itu tanpa sadar. Aku memang tak
ingin membuktikannya secara ilmiah
dan rasional sebagaimana perinsip
keilmuan yang mensyaratkan segala tetek-bengek yang serba njlimet.
Entahlah, aku sekarang lebih
tertarik menggunakan asumsi-asumsi yang
bersifat subjektif. Toh, sebuah klaim
atas kasus-kasus tertentu, tak semuanya
memerlukan bukti? Kamu tentunya masih
ingat dengan
seseorang yang dulu pernah
dianggap sebagai Bapak Pembangunan di
zaman Orde Baru dalam sejarah negeri
kita? Bukankah dia jelas-jelas telah
melakukan maha kekejian yang merampas segala
bentuk hak
kemanusiaan orang-orang lemah
di negeri ini? Padahal, tidak
kurang-kurang bukti mengenai tindak kejahatan
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ia lakukan.
Tentu Dia tak sendiri, ada sebelum dan
sesudahnya
yang menjadi penguasa, dan
melakukan hal sama di negeri ini, atau
di segala negeri. Tapi siapa manusia yang
menghukumnya? Siapa pula yang berani
memenjarakannya? Bahkan, saat kematiannya
diperingati begitu agung layaknya
pahlawan? Oh, please, jangan kau jawab;
Tuhan-lah yang akan menghukumnya.
Barangkali memang Tuhan yang
akan menghukum dan memenjarakannya.
Tapi aku tak ingin membahas tentang
hukuman apa yang nanti akan ditimpakan
Tuhan. Tentunya karena aku tak berani
membahas tentang Tuhan, apalagi
memikirkan-Nya. Bukankah Tuhan memang hanya
patut ditaati dan disembah?
Jika dilihat dari persepektif
keadilan ala manusia, tentunya kau
sepakat jika ku katakan bahwa perbuatan para
penegak hukum yang membebaskan
penjahat kelas kakap itu sungguh biadab,
karena tak sebanding dengan apa yang
dilakukan kepada seorang kawanku. Dia
pernah mendekam di bui, hanya karena demonstrasi menolak segala
kebijakan pemerintah yang menindas
rakyat. Dia menjadi korban fitnah para
intelejen aparat. Temanku dituduh
melakukan makar, dijerat pasal-pasal
hukum warisan zaman feodal. Itu bukti nyata jika
kadangkala sikap purbasangka bisa dijadikan
landasan kebenaran atas sebuah tuduhan.
Bukankah para birokrat dan petinggi
negara kita telah mengajarkan hal demikian? itu
pula yang mungkin berlaku atas tuduhanku
padamu.
Tapi sudahlah. Aku tak mau kau beranggapan aku hanya ingin
membuat skenario permusuhan
denganmu. Toh, tanpa seperti itu pun, cepat
atau lambat kau pasti akan meninggalkan
atau mengusirku dari hatimu.
Sekarang atau nanti, kau mungkin akan
benar-benar membenciku, pada suatu ketika
dimana kau akan menyadari betapa aku
sebenar nya bukan seorang yang
istimewa seperti dalam bayanganmu selama ini.
Aku enggan berkelit untuk membela diri, bahwa segala yang ku
perbuat selama ini benar-benar lahir dari
nurani kemanusiaanku. Kau tak perlu
lagi terpukau dengan gerakanku saat
mahasiswa di jalan-jalan, menyuarakan borok
penguasa, meneriakkan Revollusi! membela mustadl
‘afin (kaum tertindas). Atau torehan
pena ku di media massa yang lantang dalam mengoreksi kebijakan penguasa.
Semua itu hanya tampak di permukaan
saja, nilailah itu hanya sebagai sensasi
belaka. Toh, siapa bisa tahu isi hati seseorang?
Aku pikir sah-sah saja
siapapun memberi penilaian terhadapku.
Perkara dosa atau tidak, itu bukan
urusan kita. Sekali lagi ku katakan, betapa
kau akan menyesal, jika kau tahu betapa
aku hanyalah seorang pemain teater
kehidupan yang penuh hipokrisi (kemunafikan).
Aku tak tahu pastinya benar atau salah
apa yang kumainkan, sesuai atau tidak
dengan tuntutan naskah Sang sutradara
kehidupan. Tapi aku yakin akan
kebenaran improvisasi ku saat berperan.
Aku pikir, kau adalah wanita
luar biasa yang memiliki insting cukup
tajam, sehingga mampu mendeteksi
betapa aku tak sebaik dugaanmu, tak
sehebat yang kau kira. Aku masih menyimpan
banyak rahasia yang tak akan pernah
kau tahu seluruhnya. Kau tak tahu kalau
aku telah memperlakukanmu seperti
seorang wanita
yang mengaku telah
mencintaiku. Kau dan dia memang berbeda, tapi sama
ketika mengucap kata cinta, pun aroma kata-katanya.
Kamu tentunya sudah semakin paham, bahwa kata cinta dari
mulutku tak lebih dari kotoran. Aku memang
manusia yang tak pantas kau harapkan
untuk masa depanmu. Masihkah kau mau
mengatakan cinta padaku? Aku harap tidak.
Sebab, aku akan pergi untuk mengejar
ambisiku. Aku tak tahu kapan kembali, atau
mungkin ketika kau ternyata menyusulku
kelak, belum tentu aku sudah
berubah.[]34
Selengkapnya silakan baca di naskah yang sudah dibukukan. Cetak terbatas, terlebih setelah 'dicekal' orang dekat. :)